DEFINISI SYIRKAH
Akan tetapi, menurut Abdurrahman Al-Jaziri, dibaca syirkah lebih fasih.
(Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, III/58)
Adapun menurut istilah para ulama
fikih, syirkah adalah suatu akad kerja sama antara dua orang atau lebih untuk
suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana
(atau amal) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan kerugian akan ditanggung
bersama sesuai dengan kesepakatan. (Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusydi II/253).
HUKUM SYIRKAH
Syirkah hukumnya diperbolehkan atau disyari’atkan berdasarkan Al-Qur’an,
Al-Hadits dan ijma’ (konsensus) kaum muslimin. Dan berikut ini kami sebutkan
dalil-dalilnya, di antaranya:
A.
Al-Qur’an:
Firman Allah Ta’ala: “Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang
berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat
sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad: 24)
Dan
firman-Nya pula: “Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (QS. An-Nisa’:
12)
Kedua ayat di atas menunjukkan pengakuan Allah akan adanya perserikatan
dalam kepemilikan harta. Hanya saja dalam surat An-Nisa’ ayat 12 perkongsian
terjadi secara otomatis karena waris, sedangkan dalam surat Shaad ayat 24 terjadi
atas dasar akad (transaksi).
B.
Hadits:
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah azza wa
jalla berfirman: “Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah
satunya tidak mengkhianati pihak lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku
keluar dari keduanya.” (HR. Abu Daud no.3383, dan Al-Hakim no.2322).
C.
Ijma’:
Ibnu Qudamah berkata: “Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap
legitimasi syirkah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam
beberapa elemen darinya.” (Al-Mughni V/109).
RUKUN-RUKUN SYIRKAH
Menurut
mayoritas ulama fikih, bahwa rukun syirkah itu ada 3 (tiga), yaitu:
harus memiliki kecakapan melakukan
tasharruf (pengelolaan harta); (3) obyek akad, disebut juga
al–ma’qûd ‘alaihi, yang mencakup
pekerjaan (al–amal) dan atau modal (al–mâl). (Al-Fiqhu ‘Alal
Madzahibi al-Arba’ah, Abdurrahman
al-Jaziri).
JENIS-JENIS SYIRKAH
Syirkah itu ada dua macam:
Pertama: Syirkah Amlaak (Hak Milik)
Yaitu penguasaan harta secara kolektif, berupa bangunan, barang bergerak
atau barang berharga. Yaitu perserikatan dua orang atau lebih yang dimiliki
melalui transaksi jual beli, hadiah, warisan atau yang lainnya. Dalam bentuk
syirkah seperti ini kedua belah pihak tidak berhak mengusik bagian rekan
kongsinya, ia tidak boleh menggunakannya tanpa seijin rekannya. (Taudhihul
Ahkam, Syaikh Abdullah Al-Bassam IV/601).
Misalnya; si A dan si B diberi wasiat atau hadiah berupa sebuah mobil
oleh seseorang dan keduanya menerimanya, atau membelinya dengan uang keduanya,
atau mendapatkannya dari hasil warisan, maka mereka berdua berserikat dalam
kepemilikan mobil tersebut. (Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq III/258, dan Al-Fiqhu
Al-Islami wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaily IV/794).
Kedua : Syirkah Uquud (Transaksional/kontrak)
Yaitu akad kerja sama antara dua orang yang bersekutu dalam modal dan
keuntungan, misalnya, dalam transaksi jual beli atau lainnya. Dalam syirkah
seperti ini, pihak-pihak yang berkongsi berhak menggunakan barang syirkah
dengan kuasa masing-masing. Dalam hal ini, seseorang bertindak sebagai pemilik
barang, jika yang digunakan adalah miliknya. Dan sebagai wakil, jika barang
yang dipergunakan adalah milik rekannya.
MACAM-MACAM SYIRKAH UQUUD
Berdasarkan penelitian para ulama fikih terdahulu terhadap dalil-dalil
syar’i, bahwa di dalam Islam terdapat lima macam syarikah: yaitu: (1) syirkah
al- inân; (2) syirkah al-abdân; (3) syirkah al-mudhârabah; (4) syirkah al-wujûh;
dan (5) syirkah al-mufâwadhah.
Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah
inân, abdân, mudhârabah, dan wujûh. Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya
tiga macam, yaitu: syirkah inân, abdan, dan mudhârabah. Menurut ulama Syafi’iyah
dan Zhahiriyah, yang sah hanya syirkah inân dan mudhârabah. Sedangkan menurut
Hanafiyah semua bentuk syirkah boleh/sah bila memenuhi syarat-syaratnya yang
telah ditetapkan. (Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, Wahbah Az-Zuhaili, IV/795).
1. Syirkah al-‘Inaan
Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih dengan harta masing-masing
untuk dikelola oleh mereka sendiri, dan keuntungan dibagi di antara mereka,
atau salah seorang sebagai pengelola dan mendapat jatah keuntungan lebih banyak
daripada rekannya.
Hukum syirkah ini diperbolehkan berdasarkan konsensus para ulama,
sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu al-Mundzir. (Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu,
karya Wahbah Az-Zuhaily IV/796).
Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd);
sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan
modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung
oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika,
misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian
sebesar 50%. sebagaimana kaidah fikih yang berlaku, yakni (Ar-Ribhu ‘Alâ mâ
Syarathâ wal Wadhii’atu ‘Alâ Qadril Mâlain).
Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya
modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak
yang bersyirkah).”
Contoh: A dan B akan membuat sebuah agency property syariah. A
memberikan dana sebesar 10 juta dan B sebesar 10 juta dan keduanya sama-sama
bekerja dalam syirkah ini.
2. Syirkah al-Abdaan (syirkah usaha)
Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih dalam usaha yang dilakukan
oleh tubuh mereka, yakni masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal),
tanpa konstribusi modal (mâl).
Kerja sama semacam ini dibolehkan menurut kalangan Hanafiyah, Malikiyah,
dan Hanabilah, namun imam Syafi’i melarangnya.
Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah. Dari Abdullah
bin Mas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar
bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang
Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa
apa pun.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah).
Hal itu diketahui Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan beliau
membenarkannya dengan taqrîr.
Syirkah ini kadang-kadang disebut
juga dengan Syirkah al-A’maal dan ash-Shanaa-i’.
Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian,
tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari
beberapa tukang kayu dan tukang besi. (Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq III/260).
Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal.
Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya
boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk).
Contoh: A dan B akan membuat
sebuah agency property syariah. Keduanya tidak memberikan modal tetapi hanya
bermodal keahlian dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah ini.
3. Syirkah al-Mudharabah
Yaitu akad perjanjian (kerja sama usaha) antara kedua belah pihak, yang
salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya dikembangkan,
sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang
disepakati. (Lihat Fiqhus Sunnah Karya Sayid Sabiq III/220)
Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma meriwayatkan bahwa Abbas bin Abdul
Muthallib (paman Nabi) jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia
mensyaratkan kepada mudharib (pengelola)nya agar tidak mengarungi lautan dan
tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu
dilanggar, ia (mudharib/pengelola) harus menanggung resikonya. Ketika
persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau
membenarkannya.” (HR. Al-Baihaqi di dalam As-Sunan Al-Kubra (6/111).
Para ulama telah berkonsensus atas bolehnya mudharabah. (Bidayatul
Mujtahid, karya Ibnu Rusyd (2/136).
Diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib)
harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka.
karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma’. (al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu,
Wahbah Zuhaily, 4/838)
Dalam syirkah ini, keuntungan
dibagi berdasarkan kesepakatan.
Sedangkan kerugian dalam mudharabah ini mutlak menjadi tanggung jawab
pemilik modal . Dengan catatan, pihak pengelola tidak melakukan kelalaian dan
kesalahan prosedur dalam menjalankan usaha yang telah disepakati
syarat-syaratnya. Kerugian pihak pengelola adalah dari sisi tenaga dan waktu
yang telah dikeluarkannya tanpa mendapat keuntungan. Ini adalah perkara yang
telah disepakati oleh para ulama, seperti yang telah ditegaskan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa (XXX/82).
Contohnya: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B yaitu
marketing yang ingin membentuk agency properti syariah dan berkonstribusi kerja
saja (pengelola).
4. Syirkah al-Wujuuh
Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan
nama baik serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit (hutang)
dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai, lalu keuntungan
yang didapat dibagi bersama atas dasar kesepakatan di antara mereka. (Bada-i’u
ash-Shana-i’, karya al-Kasani VI/77)
Syirkah semacam ini juga dibolehkan menurut kalangan hanafiyah dan
hanbaliyah, namun tidak sah menurut kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan
Zhahiriyah. (Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaily IV/801)
Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau
keahlian seseorang di tengah masyarakat. Tak seorang pun memiliki modal, namun
mereka memiliki nama baik, sehingga mereka membeli barang secara hutang dengan
jaminan nama baik tersebut.
Dalam syirkah wujûh ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan,
bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian
ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang
dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan
Contoh: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B
ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya
C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang
yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi
dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).
5. Syirkah al-Mufawadhah
Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan
suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak
membagi keuntungan dan kerugian secara sama.
Syirkah Mufawadhah juga merupakan syirkah komprehensif yang dalam
syirkah itu semua anggoga sepakat melakukan aliansi dalam semua jenis kerja
sama, seperti ‘inan, abdan dan wujuh. Di mana masing-masing menyerahkan kepada
pihak lain hak untuk mengoperasikan segala aktivitas yang menjadi komitmen
kerja sama tersebut, seperti jual beli, penjaminan, penggadaian, sewa menyewa,
menerima tenaga kerja, dan sejenisnya. Atau syirkah ini bisa pula diartikan
kerja sama dalam segala hal.
Hukum Syirkah ini dalam pengertian di atas dibolehkan menurut mayoritas
ulama seperti Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah. Sebab, setiap jenis syirkah
yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis
syirkah lainnya. Namun, imam asy-Syafi’i melarangnya.
Adapun keuntungan yang diperoleh dalam syirkah ini dibagi sesuai dengan
kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu
ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inân),
atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung
mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika
berupa syirkah wujûh).
Contohnya: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C yaitu
marketing yang ingin membentuk agency, yang sebelumnya sepakat bahwa
masing-masing berkonstribusi kerja saja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk
berkontribusi modal.
Contoh diatas adalah gabungan
antara syirkah 'inan, 'abdan dan mudhorobah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar